Jumat, 22 Mei 2009

Dilema

Cilampung

Jumat pagi, seperti pagi sebelumnya, sehabis mandi, sarapan pagi, berseragam rapi.
Wow, hari ini aku rasa kopi nikmat sekali, pamitan sama Zuhdi dan Umi.
Lalu keluarkan sepeda motor, siap-siap pergi ke kantor.
Panaskan dulu mesin, 2 menit sambil pakai sepatu, tutup pintu, tarik kopling-oper gigi dan melaju.
07.05. Saya terlambat lagi. Tapi tak seorangpun yang mempermasalahkannya. Terlebih para siswa yang menobatkan pelajaran kosong sebagai favorit. Kecuali pastinya Yang Maha Kuasa.
Di kelas baru terisi separuh tapi tak mengapa, berbekal buku pegangan yang saya dapatkan dari guru sebelumnya, pagi itu saya mengajak anak untuk berandai-andai. [baca: belajar kompetensi dasar ‘conditional sentence’].
Muncullah dua orang siswi mengetuk pintu, mengucap salam sambil memasang wajah memelas dan berkata ‘Maaf pak, kendaraan mogok.’
Saya sempat bingung, saat itu saya punya 2 pilihan resiko.
1. Kalau saya biarkan masuk dan duduk, mereka tidak akan kapok telat. ‘Soalnya Pak Bowo orangnya baik. Dia tidak menghukum kami karena telat’ kurang lebih itu yang ada di benak mereka saat mereka mengulang telat lagi. Walaupun saya punya keyakinan para siswa enggan datang terlambat, tapi akibat kondisi dan kemalasanlah sehingga apa yang mereka lakukan berkebalikan bertentangan dengan cita-cita mereka.
2. Kalau saya tidak ijinkan masuk atau saya menghukum mereka berdiri didepan kelas, akan muncul beberapa akibat :
Pertama mereka tidak ikut pelajaran saya (ini akan berakibat buruk, niscaya mereka tidak paham pelajaran saya sementara yang ikut saja belum tentu bisa paham apalagi tidak ikut)
Kedua, bisa nggak nyaman pelajarannya sebab yang sudah ada di dalam kelas baru separuh dari keseluruhan jumlah siswa. Silahkan anda bayangkan betapa asiknya memajang sekitar 15 siswa di depan kelas selama satu setengah jam sementara saya menggunakan papan tulis untuk menjelaskan pelajaran kepada para siswa.

Itulah yang saya sebut dengan Dilema.

Namun saya akhirnya mempersilahkan dua makhluk tersebut untuk duduk di habitat eh bangkunya masing-masing. Saya sampai sekarang belum punya jawaban mengapa memilih resiko yang pertama selain mengatakan ‘Daripada’. Sekedar tahu, yang saya ceritakan ini bukan sekolah berstandar internasional atau nasional. Tapi ya, sekolah swasta, gitu.

Barangkali anda senang berbagi komentar.

Saya melanjutkan pelajaran sambil sesekali mempersilahkan para siswa yang datang terlambat untuk duduk. Kadang saya mempersilahkan begitu saja, kadang saya menyampaikan kepada mereka “Waduh, maaf bu, saya kira anda tidak dapat hadir hari ini. Jadi saya tadi memberanikan diri untuk memulai pelajaran terlebih dahulu.” Dan efeknya para siswa tersenyum kecut sambil berjalan tergesa ke bangkunya masing-masing.
Saya lihat jam di tangan saya menunjukkan 07.35 ketika siswa terlambat yang terakhir mendaratkan bokongnya di bangku.

Tak lama berselang, muncul wali kelas di depan pintu memberikan isyarat kepada saya untuk keluar sebentar. Beliau meminta ijin untuk memanggil beberapa siswa. Saya bertanya ada keperluan apa. Beliau mau memberikan hukuman kepada para siswa yang kemarin bolos.
Lagi-lagi saya bingung, saya bersua kembali dengan 2 pilihan resiko:
1. Kalau saya persilahkan beliau menghukum para siswa berarti kesempatan belajarnya tersita, kembali lagi (ini akan berakibat buruk, niscaya mereka tidak paham pelajaran saya sementara yang ikut saja belum tentu bisa paham apalagi tidak ikut).
2. Kalau tidak saya persilahkan, para siswa yang bolos akan merasa tenang “Kan ada Pak Bowo yang melindungi siswanya dari hukuman akibat membolos”.

Lagi-lagi, itulah yang saya sebut dengan Dilema.

Namun saya akhirnya mempersilahkan beliau untuk memanggil para siswa yang bersangkutan. Saya sampai sekarang belum punya jawaban mengapa memilih resiko yang pertama selain mengatakan ‘Daripada’. Sekali lagi saya sampaikan bahwa yang saya ceritakan ini bukan sekolah berstandar internasional atau nasional. Tapi ya, sekolah swasta, gitu.

Show must go on, pelajaranpun tetap saya lanjutkan walaupun personel kelas tinggal ¾ bagian saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar